Pemda Gencarkan SPMB untuk Tekan Angka Putus Sekolah di Daerah
Daerah-daerah di Indonesia kembali menghadapi tantangan klasik dalam sektor pendidikan: angka putus sekolah yang masih tinggi. Dalam menghadapi kenyataan tersebut, pemerintah daerah (Pemda) kini mulai mengandalkan Strategi Pemerataan Masuk Belajar (SPMB) sebagai upaya terobosan untuk membuka akses pendidikan seluas mungkin, terutama bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera dan daerah terpencil.
Akar Masalah: Ketimpangan Akses dan Ekonomi
Faktor utama yang mendorong tingginya angka putus sekolah tidak berubah: keterbatasan ekonomi, jauhnya akses ke sekolah, dan kurangnya kesadaran pentingnya pendidikan. Di beberapa daerah pelosok, anak-anak harus berjalan kaki berjam-jam untuk mencapai sekolah. Sementara di kota-kota besar, tekanan ekonomi memaksa banyak anak bekerja demi membantu keluarga, mengorbankan masa depan pendidikan mereka.
Data terbaru dari Kemendikbudristek menunjukkan bahwa ribuan anak usia sekolah dasar hingga menengah di berbagai provinsi masih berada di luar sistem pendidikan formal.
“Pendidikan tidak boleh menjadi kemewahan. Semua anak berhak belajar, apa pun latar belakangnya,” kata Kepala Dinas Pendidikan di salah satu kabupaten di Sulawesi.
SPMB: Jalan Keluar Menuju Pemerataan
Dalam menjawab tantangan ini, Pemda di sejumlah wilayah kini mulai menggencarkan program SPMB. Strategi ini mencakup berbagai langkah terintegrasi, seperti:
• Pendaftaran ulang berbasis jemput bola, mendatangi langsung rumah siswa yang tercatat tidak melanjutkan pendidikan.
• Penyediaan beasiswa lokal bagi siswa dari keluarga miskin.
• Kerja sama dengan sekolah swasta dan madrasah, untuk menampung siswa yang tak tertampung di sekolah negeri.
• Pemanfaatan sekolah jarak jauh dan daring untuk wilayah yang sulit dijangkau.
SPMB bukan hanya sekadar kebijakan administratif, tapi gerakan sosial untuk mengembalikan anak-anak ke bangku sekolah.
Dukungan Teknologi dan Komunitas
Dalam pelaksanaannya, program ini juga didukung oleh teknologi berbasis data pendidikan daerah, yang memungkinkan Pemda melacak siswa berisiko putus sekolah secara lebih cepat. Selain itu, tokoh masyarakat, guru, dan relawan pendidikan juga dilibatkan sebagai agen perubahan di lapangan.
“Kami tidak bisa bekerja sendiri. Butuh gotong royong agar tidak ada anak yang tertinggal,” ujar seorang kepala sekolah yang aktif dalam program ini.
Hasil Awal yang Menggembirakan
Beberapa daerah yang telah menerapkan SPMB sejak awal tahun menunjukkan tren positif. Di Kabupaten Garut, misalnya, angka putus sekolah tingkat SMP turun 27% dalam enam bulan terakhir. Di Kalimantan Barat, lebih dari 800 siswa berhasil kembali ke sekolah melalui skema beasiswa dan dukungan transportasi.
Tantangan Masih Ada
Meski menunjukkan hasil menjanjikan, program ini tetap menghadapi sejumlah kendala, mulai dari keterbatasan anggaran, kurangnya tenaga pendamping, hingga infrastruktur sekolah yang belum merata. Namun, semangat untuk memperjuangkan pendidikan tetap menjadi prioritas utama.
Dengan menggencarkan SPMB, Pemda telah menunjukkan langkah konkret untuk mengikis kesenjangan akses pendidikan. Pendidikan bukan hanya soal angka partisipasi sekolah, tetapi juga tentang masa depan anak-anak Indonesia. Dengan kolaborasi semua pihak, mimpi pendidikan merata dan inklusif bisa menjadi kenyataan, satu daerah demi satu daerah.