Upah Ojol Dipotong Aplikator: Istana Akhirnya Buka Suara
Gelombang keluhan dari para pengemudi ojek online (ojol) kembali mencuat ke permukaan. Isu yang menjadi sorotan kali ini adalah pemotongan upah oleh aplikator yang dinilai semakin memberatkan para driver, terutama di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya operasional kendaraan. Seiring meningkatnya protes dan seruan keadilan dari para ojol, Istana Negara akhirnya buka suara, menanggapi keresahan ini secara resmi.
Keluhan Ojol: “Kami Merasa Diperas di Jalanan Sendiri”
Dalam beberapa minggu terakhir, berbagai komunitas driver ojek online mengunggah pernyataan dan testimoni di media sosial mengenai tingginya potongan yang dikenakan aplikator terhadap pendapatan mereka. Banyak yang menyebut bahwa dari tarif yang dibayar pelanggan, hanya sebagian kecil yang benar-benar masuk ke dompet mereka.
“Tarif tetap, bensin naik, potongan makin besar. Kami kerja dari pagi sampai malam, tapi yang dibawa pulang sering tak sebanding dengan lelahnya,” ungkap Budi, seorang driver di Jakarta Timur. Keluhan serupa juga terdengar dari kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya, dan Medan.
Istana Merespons: Pemerintah Tak Tutup Mata
Menanggapi polemik ini, juru bicara Kepresidenan menyampaikan bahwa pemerintah sangat memperhatikan dinamika hubungan antara aplikator dan mitra driver. Dalam konferensi pers terbatas di Jakarta, ia menyatakan, “Presiden telah mendapatkan laporan mengenai keluhan para driver. Negara tidak boleh abai terhadap nasib rakyat kecil, apalagi mereka yang menopang sektor ekonomi digital.”
Pihak Istana juga menegaskan bahwa Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kominfo telah diminta untuk duduk bersama dengan para aplikator dan perwakilan driver, guna mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Pemerintah disebut akan mengkaji kembali regulasi terkait kemitraan digital, termasuk transparansi sistem pembagian tarif dan biaya layanan.
Aplikator Didesak Transparan dan Fair
Di sisi lain, sejumlah pihak mendesak agar perusahaan aplikator lebih terbuka soal struktur biaya yang dikenakan kepada mitra. Pengamat ekonomi digital, Dr. Nina Suryani, menilai bahwa praktik pemotongan sepihak yang tak disertai kejelasan perhitungan bisa menimbulkan ketimpangan dan krisis kepercayaan.
“Selama ini relasi aplikator dan driver diklaim sebagai kemitraan. Tapi dalam praktiknya, banyak driver merasa seperti pekerja yang tidak punya suara,” ujarnya. Ia menyarankan agar dibentuk forum resmi pengaduan dan evaluasi periodik agar keseimbangan hubungan dapat terjaga.
Harapan Baru bagi Ojol?
Dengan Istana yang mulai angkat bicara dan pemerintah turun tangan langsung, para driver ojol berharap ada perubahan konkret. Beberapa di antaranya mengusulkan tarif dasar dinaikkan, potongan dimaksimalkan maksimal 10–15%, serta adanya perlindungan sosial yang layak, termasuk asuransi kerja dan akses pembiayaan ringan.
Meski belum ada keputusan final, langkah cepat dari pemerintah memberi secercah harapan bagi para ojol yang selama ini merasa hanya sebagai “penumpang” dalam ekosistem digital yang mereka sendiri ikut membesarkan.
Polemik pemotongan upah driver ojol oleh aplikator akhirnya mendapat perhatian serius dari Istana. Pemerintah menegaskan komitmennya untuk menjembatani kepentingan driver dan perusahaan, dengan tujuan menciptakan ekosistem kerja digital yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Kini, semua mata tertuju pada langkah nyata berikutnya: apakah suara ojol benar-benar akan didengar dan direspons dengan kebijakan yang berpihak?